Kuyang


KUYANG
Cerpen      
Pengarang : Tuti Arawiah, S.Ag

     “ Tolooooonnngggg!!!!!”
Aku tersentak.Sepertinya  tadi aku bermimpi. Tapi tidak, suara minta tolong itu terdengar sangat jelas. Aku bergegas bangun, merapikan daster. Kutengok kesebelah.   Intan  tidak  ada  ditempat tidurnya. Ah ya, diakan kena tugas dinas malam. Wekker di meja  belajar   menunjukkan pukul duabelas malam.
      “ Nan, bangun Nan!” Terdengar teriakan dan gedoran di pintu, tampaknya tergesa-gesa.  Dan suara itu pasti si Tia. Gadis penakut yang akhir-akhir ini sering shock   melihat  darah pa sien.    “ Ada apa?” Bersamaan kutarik gerendel pintu, Tia hampir terjerembab kedepan.  “ Dara!” Teriakku kaget, buru-buru meraih Dara dan meletakkannya di atas kasur.  “ Apa yang terjadi, Tia?”  “ Aku juga tidak tahu. Tadi kudapati ia sudah pingsan. Barangkali Dara shock melihat mayat.”

   “ Mayat?”
   “ Iya. Ibu yang kemarin keguguran meninggal dunia.”
   “ Innalillahi Wainnailaihi Rojiuun.”
Aku mengambil minyak angin dalam lemari, kemudian menggosok-gosokkan kehidungnya. Tampak Dara sudah menggerak-gerakkan matanya. Tiba-tiba Dara bangun, matanya membelalak. Aku dan Tia sampai kaget dibuatnya.
    “ Aaaku…aku ada di mana?” Suaranya terbata-bata.
   “ Tenang Dara, kau ada di kamar Nanda.” Tia mencoba menenangkan Dara. Tiba-tiba Dara memelukku, tubuhnya menggigil.
    “ Nanda, aku…aku!” Suara Dara seperti orang ketakutan.
   “ Tia, tolong ambilkan air putih!” Tia cepat beranjak. Dara meraih air digenggaman Tia. Dia minum dengan tangan gemetar.
   “ Ceritakanlah apa yang kamu lihat!”
  “ Aku melihatnya Nan, sangat mengerikan.”
  “ Melihat apa?” Tanya Tia agak penasaran.
  “ Han..han..tu. Tapi bukan itu yang kulihat.” Dara menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya dia ingin menghilangkan mimpi buruk dibenaknya.
   “ Dara, kau tidak apa-apakan. Kudengar kau pingsan.” Tiba-tiba Nina masuk tanpa mengetuk pintu. Aku, Dara dan Tia berpaling, kaget.
   “ Kebiasaan deh, kamu kalau masuk kamar orang selalu tiba-tiba dan mengejutkan.” Tia nyelutuk.
Aku kaget, bukan karena kehadiran Nina yang selalu  mengagetkan orang lain, tapi karena wajahnya yang segar, sumringah dan cantik. Bukankah kemarin dia sakit dan wajahnya pucat pasi.
    “ Nin, bagaimana keadaanmu?” Tanyaku, tak habis-habisnya memandang wajahnya yang putih bak batu pualam.
    “ menurutmu?” Nina tersenyum seraya menaikkan syal, menutupi lehernya yang jenjang.
    “ Kau semakin sehat, dan tentu saja tambah cantik.” Kataku jujur. Lalu menoleh kepada Dara.
   “ Bagaimana, Dara?”
   “ Aku sudah lumayan.” Dara turun dari pembaringan, tanpa mempedulikan Nina.
   “ Kalau merasa tak sehat, kamu istirahat saja, Ra.”Kataku, melihat Dara keburu mau keluar.
  “ Aku hanya merasa takut.” Katanya tanpa menoleh kearahku. Matanya lurus menatap Nina. Entah, apa yang ada dipikirannya.Naluriku mengatakan ada sesuatu yang dilihat Dara. Tapia apa? Mungkin Dara  enggan bercerita ketika Nina tiba-tiba masuk begitu saja
   “ Nanda!” Panggil Dara dibelakangku. Kudapati Dara setengah berlari, wajahnya penuh keringat,tatap
annya sayu, tampak ada lingkaran hitam dibawah matanya.
   “ Dara, ada apa?”
   “ Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan, Nan! Tapi  ini rahasia, kalau tidak? Seluruh penghuni rumah sakit ini akan kabur. Berita ini akan menjadi sensasi.
   “ Tampaknya menarik sekali.” Kataku berusaha bercanda.
   “ Barangkali.” Dara  ludahnya. Wajahnya menyiratkan kengerian. “ Aku bisa gila, Nan!” Keluh-
nya. Aku mengajak Dara kehalaman. Mencari tempat duduk agak kepojok, terlindung dari pepohonan
 bunga asoka.
    “ Minum jus  jeruk, barangkali membuatmu lebih fresh.” Tawarku.
    “ Sembarang saja.” Katanya nyaris tak terdengar. Aku pergi kekantin , membeli snack dan memesan jus.
    “ Ini, minumlah!” Ujarku. Dara tampak letih.
   “ Beberapa malam terakhir ini, aku tak bisa tidur, Nan.” Katanya lirih. Aku mengangkat mata dan mengangguk setuju.
   “ Aku shock!” Rintihnya putus asa.” Kamu pasti tidak percaya.”
  “ Dara.” Aku menepuk punggung tangannya, memberinya kekuatan. “ teruskan, aku akan menjadi pendengar yang baik.” Aku tersenyum. Lagi-lagi dara menelan ludahnya. Tiba-tiba matanya membelalak seperti ada yang dilihatnya.
    “ Usus terburai hijau, kepala…rambut kusut terjurai…gigi-gigi bertaring,..merah..lalu darah. Dia menjilati darah dari mayat yang sudah kaku. Bayangkan! Dia menjilati darah itu dengan lahap.” Dara menangis, tubuhnya bergetar dengan hebat. Aku memeluknya, menenangkannya. Kalau mau jujur, aku juga lebih gemetar. Ini seperti kisah tempo dulu. Ya, kuyang! Tapi, apakah ada sejenis makhluk di zaman semodern ini?
     “ Sudah kuduga, kamu tak percaya.” Tuduh Dara, melihatku diam.
     Aku menghela napas panjang, memenuhi rongga dadaku yang sesak.
     “ Dengar, Dara, aku percaya, sama halnya aku percaya dengan adanya makhluk gaib. Dengan adanya kuyang!” Bisikku rendah.
     “ Kuyang?” Dara membelalakan matanya, kaget.
    “ Iya, sejenis itulah yang kamu lihat. Dia doyan menyeruput darah orang yang baru melahirkan atau…”
Aku bergidik sendiri.Bersamaan dengan itu Nina melintas dalam jarak dua meter. Matanya tajam menatap kearah kami. Diam-diam aku merasa takut.
     Terdengar suara gaduh dihalaman rumah sakit. Aku berlari  sembari membawa brankar.Pekerjaan ini sudah biasa bagiku. Orang-orang yang sakit parah, ada yang kakinya busuk bernanah akibat diabetes, atau yang lebih mengerikan lagi mayat dengan tubuh terpotong-potong sekalipun. Aku sudah biasa menghadapi  pasien dengan berbagai permasalahan. Tapi, kali ini justru aku lebih takut menghadapi tatapan mata Nina yang tidak sengaja bersirobok dengan pandanganku.
    “ Bawa keruang darurat!” Perintah Bu Titi. Aku mengangguk. Kali ini aku tidak lagi berlari, tapi seperti terbang karena dibelakangku, tahu-tahu Nina sudah berdiri dengan wajah yang misterius.
                                                                                     *****************
    “ Hati-hati, kita bukan melawan manusia biasa.” Bisikku.                    
    “ Aku takut, Nan! Kitakan belum yakin dia orangnya”                                                                                                                                                                                                  
   “ Kita akan selalu dihantui rasa takut, bila kita tidak mengakhirinya.”
   “ Haruskah kita membunuhnya?”
  “ Tidak. Tapi kalau dia melawan, terpaksa. Mulailah dengan nama Allah!” Kataku sambil berjingkit dan mengetuk pintu kamar Dara. Ternyata Dara sudah membukanya lebar-lebar, selebar biji matanya yang mau keluar.
     “ Dia mengintip lewat kisi-kisi jendela, giginya bertaring, hiiii.” Dara bergidik. Bersebelahan dengan kamar Dara, kamar Nina tertutup rapat.Kami mendorongnya pelan. Ceroboh! Ternyata kamar  ini tidak dikunci. Sejenak mata memandang, hanya kesenyapan yang ada. Tidak ada yang aneh. Atau tubuh tnpa kepala. Tubuh yang dari ujung pundak yang bolong itu, bisa saja kumasukkan beling-beling yang sudah kusiapkan. Lalu pemilik tubuh itu datang dan masuk kedalamnya.Lalu dia menyeringai kesakitan. Tapi aku tidak akan berbuat sekejam itu. Aku hanya ingin melihat kepala yang berjuntai dengan usus yang menyala-nyala.
    “ Tubuhnya ada di kamar mandi!” Intan menjawil lenganku.
Aku tidak terkejut lagi melihat tubuh tanpa kepala itu yang berdiri persis berhadapan dengan cermin. Tiba-tiba diudara terdengar bunyi mendesng-desing. Cepat kuraih Dara dan Intan keluar, kami bersembunyi dibalik perdu. Kurapal mantera warisan kakekku, lalu menghentakkan kaki kebumi. Gedebuk! Ke-
Pala itu jatuh diatas pasir. Aku iba. Kukuatkan hatiku. Buru-buru kepala itu kuangkat dan kuletakkan di atas kasur dengan posisi tidur.
   “ Kenapa kau lakukan ini, Nin?” Tanyaku, agak ngeri juga melihat mulut yang penuh darah.
   “ Maafkan aku Dara, aku pernah mengejutkanmu.” Intan dan Dara dari tadi sudah tersandar di pintu.
   “ Tolong aku, Nan. Kau yang kuat melihat keadaanku. Pasangkan kepala ini ke tubuhnya. Tapi, sebelumnya, tolong cuci dulu pasir-pasir di ususku ini.”
    “ Kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Mulut yang penuh darah itu menyeringai. Namun, mata yang dulu kulihat indah dan jernih itu, kini tampak sayu dan penuh air mata.
    “ Ceritanya panjang. Dulu aku pernah disakiti. Sakit sekali. Aku dikhianati,dia pergi setelah semuanya kuserahkan padanya. Bagaimana tidak, masa depanku sudah hancur.Dia meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya apa yang kurang pada diriku, aku kaya, cantik. Tapi, dia justru kawin dengan sahabatku sendiri. Aku dendam, dendam itu membawaku mencari ilmu seperti ini, supaya kekasihku kembali. Iya, memang dia kembali. Tapi, entah! Besok atau lusa setelah dia tahu keadaanku, mungkin dia akan membunuhku. Dengan ini aku puas. “ Suara Nina terdengar getir. Lalu tiba-tiba dia tertawa, kepalanya bergerak-gerak.
    “ Dengan ilmu yang kudapatkan ini, aku bebaaassss, aku mau terbang kemana kusuka, dan setelah itu, tentu saja aku semakin cantik. Oya, sebentar lagi kami akan menikah.” Nina menangis. Lanjutnya dengan suara serak.
    “ Keadaanku jelek sekali, ya.” Lalu  tertawa, sumbang dan menyakitkan.
    “ Angkat   kepalaku, Nan. Tolong!” Pintanya memelas.
    Dengan menahan ngeri, aku mengangkat kepalanya dan membasuh pasir yang menempel diususnya.Aku sangat terkejut, karena tiba-tiba kepala itu meleset terbang dan  begitu saja terpasang diatas pundak. Setelah beberapa kali memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat. Kulihat Nina menyeringai puas.
    “ Aku sudah merasa enak sekarang.” Katanya sambil menunjuk Intan dan dara yang sudah pingsan.
*****************

     “ Nan,ada surat, untukmu!” Intan mengambil surat yang terselip dibawah pintu. Membaca nama dibalik amplop itu, hatiku sudah berdebar-debar. Kurobek pinggiran surat itu.
     Nanda!
     Dengan cara apa aku mengucapkan rasa terimaksihku ini. Kau telah menolongku, dan bersama dara dan Intan mudah-mudahan dapat menyimpan aibku ini. Selama ini aku sangat tersiksa, kesenangan dan kepuasan itu hanya kudapatkan sesaat saja. Sementara derita yang kudapatkan berkepanjangan. Aku lelah, Nan. Aku ingin istirahat. Kenanglah aku sebagaimana kau melihatku sebelumnya. Iringkan perjalananku ini dengan doa. Maafkan aku.
                                                                                                                                                Salam
                                                                                                                                               
N I N  A
   Aku terhenyak, terlambat aku menyelamatkan hidupnya, mengembalikannya kejalan yang benar. Diluar terdengar suara gaduh dan teriakan minta tolong. Tubuhku rasanya lemas tak berdaya. Kuhapus airmata, maaf aku, Nin. Barangkali menurutmu, inilah cara kamu mengakhiri deritamu dengan sopan : Bunuh Diri!

Dalam kumpulan Cerpen

Baca Juga Yang Ini:


1000 Bayangmu
Masalah Riba Dalam Islam
Berdayakan sumber daya manusia daerah yang handal
Sihir dan setan
Asal Usul Iblis