Under The Blue Sky

KARYA : SUGENG RIYANTO, S.Pd.
Bagian 1 Return
Matahari mulai menyinari kamarku melewati kaca-kaca jendela besar. Cahayanya menyilaukan mataku, tapi aku sungguh masih mengantuk. Selimut yang entah seperti apa posisinya, aku ambil dengan jari-jari kakiku. Perlu usaha ekstra mengambil selimut itu. Akhirnya dapat juga. Kututupi seluruh tubuhku dengan selimut, kutarik gorden warna biru menutupi jendela kamarku. Pencahayaan kamarku kembali gelap. Aku bisa tidur lagi. Kututup kembali mataku yang begitu berat ingin segera ke pulau mimpi, tapi telingaku ternyata masih sadar. Tanpa terduga bunyi suara kaki yang tak asing ku dengar sayup-sayup memasuki kamar. Tapi, aku tak menghiraukan langkah kaki itu. Aku lelah, aku ingin hari ini tidur panjang. “Oh … dasar anak satu ini!!!. Jam segini masih tidur!. Cello…!!!. Cello…!!!Cello…!!!”, suara keras bunda memekakan telingaku, tangannya menggoyang-goyangkan tubuhku. Ia menarik selimut yang menutupi tubuhku, melemparnya keluar dari ranjangku. Mataku terpaksa berkompromi, perlahan ku picingkan mata, tapi tanpa aba-aba peringatan, air mengguyur mukaku. “Aooowwww…bunda apa-apaan???!!!”, mukaku geram. Tapi, tatapan tajam ibuku menciutkan nyaliku.
 “Kau pikir ini jam berapa!!!. Lihat sudah jam delapan!!!”. Aku melihat jam di meja dekat tempat tidurku, hari ini aku terlambat bangun. “Kau masih bisa santai, Cello???!!!. Cepat bergegas mandi!. Kau harus tetap sekolah, Bunda tidak ingin dengar alasan apapun darimu. Kau kesiangan maka kau harus bertanggung jawab dengan dirimu sendiri. Jika kau dihukum di sekolah itu konsekuensi yang harus kau terima!!!. Bunda tunggu di ruang makan”. Langkah bunda perlahan menjauh dari kamar. Aku sungguh tidak bisa berkutik dengan keotoriteran Bunda jika menyangkut disiplin bangun pagi. Aku berjalan sempoyongan menuju kamar mandi. Sudah telat bangun, ditambah belum sholat subuh. Sungguh hari yang sial bagiku. Ini semua gara-gara mereka. “Aaaawwaaaassss!!! …Kalian semua”, mulutku masih penuh dengan busa pasta gigi.
“Cepat!!!. Jangan main-main di kamar mandi!!!”, suara keras bunda terdengar lagi. “Hmmmmm….hmmmm…bbbbunnndddaa…”, semakin penuh busa pasta gigi di sekitar area mulut. Ruang makan telah menungguku, apalagi bunda. Ayah telah berangkat ke kantornya pagi sekali, beliau tipe lelaki yang penuh tanggung jawab dan disiplin tinggi. Kami hanya berdua. “Kau sudah rapi, sekarang makanlah”, bunda terlihat sibuk menyiapkan sarapan pagi untukku. Aku hanya mengambil roti tawar panggang isi telur. Kujejalkan roti itu ke mulutku, memenuhi rongga mulutku. “Kau ini apa-apaan, jaga sopan santunmu, Cello!. Kalau makan!!!”. “Mmmmaaaaffff…bun, ga ada waktu lagi. Cello buru-buru nich. Nanti hukuman Cello semakin tambah berat”. Aku segera berlari menuju keluar rumah. “Tunggu kau sudah sholat!!!??”, bunda mengikutiku dari belakang. Aku hanya menjawab dengan mengangkat ibu jariku, tanda sudah melakukan, walaupun sholat di jam delapan. Semoga Allah mengampuniku. “Cello, kau melupakan sesuatu”. Aku mulai menyalakan sepeda motor vespa warna biru khusus hadiah Ayah yang langsung di impor dari Italia. “Apa…bun???. O…iya, maaf bun, Cello lupa”, aku turun dari motor vespa kesayanganku, berpamitan dengan bunda, mencium kedua tangannya. Bunda membalas mencium keningku. “Hati-hati…ceritakan hukumannya pada Bunda sepulang sekolah nanti”. “Ok…Boss”. Motor Vespa kugas dengan kencang, jarak sekolah dengan rumahku hanya sekitar tiga puluh menit. Jadi sesuai analisaku, aku terlambat sekitar 1 jam lebih 30 menit ke sekolah. Cello nama panggilanku, seorang anak laki-laki berusia enam belas tahun, kelas dua di sekolah menengah. Tepatnya SMA Internasional jurusan Science. Nama lengkapku tentu saja Cello Akbar Lubis dari pasangan berdarah Jawa dan Batak. Gerbang sekolah sudah di depan mata, penampilanku seperti anak muda Jakarta yang cukup trendy dengan gaya zaman sekarang. Gaya rambutku seperti Robert Pattinson pemeran twilight saga. Tangan kiriku dipenuhi tiga gelang tangan berwarna hitam dan sebuah jam tangan trendy warna senada buatan asli dari Swiss. Aku lupa memasukan baju, penampilanku hari ini cukup berantakan kalau dijelaskan, tatanan rambut ala Robert Pattinson kini jadi acak-acakan terkena angin, gara-gara harus berlomba dengan waktu. Entah jadi model apa sekarang rambutku ini. Kalau dari muka setidaknya anak-anak perempuan kelas sepuluh, teman-teman sebaya, bahkan kakak kelas banyak yang speechless jika aku lewat di depan mereka. Bukan karena geer, tapi ini kenyataan, wajahku memang di atas rata-rata, bukan maksud sombong, alias istilahnya mereka sebut tampan. Pintu masuk sekolah telah di tutup, satpam tidak memperbolehkanku masuk walaupun kubujuk dengan rayuan maut. “Pak Rahmat, bisa bukakan pintunya???. Saya pasti akan datang untuk menemui dan membantu anak-anak yang bapak asuh. Saya janji, pak?. Kumohon, pak…”, motorku masih parkir tepat di depan pintu gerbang masuk dengan pagar besi tinggi. Usaha memohonku sia-sia pada pak Rahmat. “Maaf, mas Cello. Saya tidak bisa membuka pintu untuk siswa terlambat, tawaran mas saya tolak mentah-mentah”. Aku hanya bersandar di tembok dekat pos satpam. Tanpa terduga, kepala sekolah, pak Arman Siregar menghampiri pak Rahmat. “Ada siswa yang terlambat lagi pak?”. “Eeee…Anu…anu…pak…”. “Kenapa anu…anu…!!!. Itu motor siapa?. Jawab yang jelas!!. Tunggu, jangan-jangan itu motor Cello!!!. Cellooooooo…!!!!”, teriakannya lebih parah dari teriakan Bundaku. Jika dibandingkan gempa Jogja saja kalah dengan suara teriakan Pak Arman. Aku yang masih bersandar terpaksa berjalan ke tempat motorku, mendengar teriakan pak Arman. Pintu gerbang sekolah di buka. Pak Arman menghampiriku. “Cello!!!. Ini sudah kedua kalinya kau terlambat. Tidak seperti biasanya. Kau terkenal sebagai murid teladan di sekolah ini. Tapi, kenapa kau dua kali sudah terlambat, bahkan kedua-duanya telat hampir dua jam!!!”, ia memulai ceramah padaku. Aku hanya menunduk mendengarkan ceramahnya. “Sekarang, masuk!!!. Kau bapak hukum di sini, Pak Rahman jaga dia selama tiga puluh menit”. “Baik, Pak”. “Cello, pegang kedua telingamu dengan tangan, dan angkat kaki kananmu. Itu hukuman untuk anak yang tidak disiplin!!!. Walaupun prestasimu sudah memenuhi sekolah ini, tapi perbuatan tidak disiplinmu harus menjadi contoh bagi anak-anak lain. Bapak tidak akan membedakan siapapun dari kalian yang bersalah. Mengerti!!!”. “Yes, Sir. I’m understand. Saya menerima hukuman ini”. Tentu saja berdiri dengan salah satu kaki diangkat dan kedua tangan memegang telinga dalam bentuk menyilang bukan pertama kali kualami. Tepatnya ini kedua kalinya selama berada di sekolah ini. Pak Rahman seperti pengintai, matanya terus melihat ke arahku, apakah melakukan dengan benar hukuman dari Pak Arman. Tapi, aku meminta keringanan izin untuk memasangkan headset di telingaku, mendengarkan musik kesukaanku. Pak Rahman mengijinkanku. Aku bersenandung asyik, dengan gaya hukuman dari Pak Arman. Pak Rahman yang melihat hanya menggeleng-geleng, ia tersenyum melihat tingkahku. Tiba-tiba, bunyi klakson mobil Mercedes benz warna hitam terdengar, Pak Rahman dengan sigap membukakan pintu gerbang. Aku masih asyik mendengarkan musik dan bersenandung. Seorang gadis turun dari mobil itu, aku tak memperhatikannya. Dia mulai berjalan di depanku, tapi mataku masih terpejam asyik bersenandung. Di hidungku tercium sebuah aroma yang sangat aku kenal, bau bunga sakura. Gadis itu melewatiku, aku berusaha membuka mataku, penasaran dengan bau harum bunga sakura yang aku cium tadi. Tapi, gadis itu telah berjalan beberapa meter di depanku. “Pak, kenapa kau membiarkan gadis itu masuk tanpa dilaporkan ke pak Arman?”, aku protes dengan sikap pilih kasih pak Rahmat. “Maaf, mas Cello. Dia itu siswi baru di sekolah ini. Jadi, itu sebuah pengecualian. O…iya mas, dia itu cuantiik bueeenneer mas, pas lewat di depan mas Cello dia tertawa melihat tingkah lucu mas Cello, loh?”. “A..aaaapa…dia menertawakanku?. Apanya yang lucu?”. “Ya, jelas lucu. Lah, wong, mas Cello, nyanyi, ndengerin musik sambil ngangkat kaki sama pegang telinga. Ya, jelas lucu”. “Ah…peduli amat!!!”, kembali aku bersenandung. *** Bel istirahat berbunyi, hukumanku tinggal lima menit. Tapi, sudah terlambat. Aku menghindar dari pandangan murid-murid yang memandangku heran. Aku cuek saja melihat pandangan mereka, aku hanya ingin cepat selesai hukuman ini dan pergi ke ruang musik. Tempat favoritku di sekolah ini. Teman-teman satu klub musik melihat ke arahku dari lantai dua kelasku. “Oiiii…ini dia murid paling teladan di sekolah ini!!!. Hey ada tontonan spesial nich…”, terdengar suara Kevin. Teman-teman yang lain yang belum mengetahui hukumanku, langsung menuju ke arahku. Kini aku jadi tontonan gratis. “Sialan...!!!. Awas kau, Kodok!!!”, dalam hati aku bergumam, sumpah serapah kutujukan kepada Kevin. “Cello…, gayamu seperti itu bagus. Nanti aku masukin ke Youtube, oke!!”, ia kembali meledekku. “Awas kau kodok!!!. Kau berani melakukan itu, aku pastikan kau ga akan selamat!!!”. “Aku ta…ut…ha…ha…ha…”, Kevin semakin agresif meledekku, ia mengeluarkan kamera, mulai merekamku. “Kodok, kurang ajar!!!”. Pak Arman menghampiriku, ia melihat ke arahku dengan tatapan puas. “Bagus, Cello. Kau bertanggung jawab dengan perbuatanmu. Semoga kau tidak mengulangi ketidakdisiplinan ini lagi. Sekarang selesai hukumanmu. Kau bisa masuk kelas”. Nafas lega bisa ku keluarkan. Akhirnya selesai juga, ini hari terburuk bagiku. Aku menyalami pak Arman dan langsung berlari menuju ke kelas, berusaha membalas olokan Kevin. “Bajumu masukkan dulu, Cello!!!. Atau bapak tambah hukumanmu!!!”. Aku menengok ke arah Pak Arman. “Ya, pak”. “O…o…gawat si pangeran serigala siap menerkamku. Aku harus lari. Awasss…kalian semua minggg…iiiiiirrrrr….”, Kevin berlari dari kejaranku. “Jangan lari, kooooo…dooookkk…”, “Brrruukkkk…..”, aku menabrak seseorang, buku dan tas ditangannya jatuh. Tubuhnya tidak seimbang, ia hampir saja jatuh, tapi refleks cepat dariku berhasil menyambut tangannya. Pandangan mataku tak bisa melepaskan diri beberapa detik dari wajahnya. Seorang gadis berambut panjang lurus berwana hitam, dengan mata besarnya yang indah, kulitnya yang putih, wajahnya begitu cantik, ekspresi tegang tampak terlihat di matanya. Secepatnya aku menarik tangannya, menjauh dari tangga, tarikanku cukup keras, akhirnya kami berdua tersungkur di lantai. “Mmmm..aaaafff…”, kata pertama itu yang terlontar dari mulutku. “Tidak, apa-apa”. Dia masih berusaha merapikan buku yang terjatuh di lantai dan mengambil tas yang berada di samping kirinya. “Bisa aku bantu?”. “Tidak usah”. “Ga apa-apa, kok. Tenang aja, anggap ini penebusan dari sikapku yang tidak hati-hati menabrak”, aku mulai membantu mengambil beberapa buku yang masih tercecer di lantai. “Ini, bukumu”. Rambut indahnya tergerai, begitu sempurna, ia begitu mempesonaku pada pandangan pertama. “Terima kasih”, ia masih tampak terlihat kikuk, memandangku. Kami saling berpandangan untuk beberapa saat. Hingga dikagetkan oleh gerombolan orang-orang tidak penting. “Woooooiiiyyyy…Llo, udah segitunya ngeliatin dia. Nanti bisa addict loch?”, suara Bembi mengagetkanku. “Iya, nich, mau dikemanain si Tasya?. Aku bilang ke dia nanti, loch?”, Tody ikut menimpali. “Apa-apaan kalian, nich!!!. Berisik!!!”, tanganku menyikut mereka. “Cello, loe di tunggu kawan-kawan di ruang musik. Cepat nyusul!!!”. “Iya, nanti aku nyusul”. “Hati-hati dengan Cello, dia playboy di sekolah ini”, tanganku mulai ku kepalkan mengarah pada Bembi dan Tody. “Pergi, ngga kalian, nich!!!”. “Iya…iya…kami pergi”, mereka berdua menghilang dari pandanganku. “Jangan dengarkan perkataan mereka. Tolong jangan anggap serius ucapan mereka”. “Tenang saja, kamu ga perlu khawatir, kok”. “Ok, aku Cello, kalo kamu?”, tanganku mulai ku arahkan bersalaman dengannya. Tapi, gangguan kembali datang. “Cello, cepet nich, bu Merlin memanggil kamu”. Aku mengurungkan niatku bersalaman dengannya. Aku belum tahu namanya, tapi yang penting sekarang aku harus menemui bu Merlin dahulu, jika tidak kiamat jadinya. “O…iya, sorry, lain kali kita ketemu. Bye…”. Aku meninggalkan dia, berlari menuju ke ruang musik. Aku menoleh dan tersenyum ke arahnya, ia membalas senyumanku. “Aku Keyla, semoga kau masih ingat denganku, Cello”, suaranya begitu lirih, aku sendiri tak mendengar kata-katanya. Pertemuanku dengan dia yang aku belum tahu namanya masih memenuhi otakku, bau harum bunga sakura pada dirinya mengingatkanku pada kisah lama. Tapi, di dunia ini seorang gadis dengan bau harum bunga sakura mungkin beribu-ribu orang yang memilikinya. Tapi, sungguh, hatiku aneh, detak jantungku begitu cepat ketika bertemu pertama kali dengannya. Perasaan ini, sebenarnya apa?.

Komentar